HUBUNGAN INDUSTRIAL
MAKALAH
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Makalah ini buat sebagai
tugas mata kuliah Hubungan Industrial Pancasila
Disusun oleh :
Nazla Latifa Hanum
(34217470)
Kelas :
2DD02
MANAJEMEN PEMASARAN
D3 BISNIS DAN KEWIRAUSAHAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2019
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, kami dapat menyelesaikan makalah industrial.
Makalah ini kami buat sebagai syarat dalam kegiatan belajar
di kelas kami. Tujuan dan
manfaat makalah ini adalah agar dapat mengetahui hubungan industrial.
Kami berharap makalah ini dapat diterima dan
bermanfaat bagi penulis serta pembaca. Akhir kata, kami mengucapkan terima
kasih dan mohon maaf jika proposal kami masih banyak kesalahan.
Untuk itu kami berharap adanya kritik dan saran untuk membangun kami sebagai
perbaikan dimasa depan.
Bekasi, 19
Oktober 2019
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………….
|
i
|
DAFTAR
ISI……………………………………………………………...
|
ii
|
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………..
|
iii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
|
1.1 Latar Belakang………………………………………………..........
|
1
|
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………......
|
1
|
1.3 Maksud dan Tujuan……………………………………………......
|
2
|
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………....
|
2
|
|
|
BAB II PEMBAHASAN
|
|
2.1 Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Keseimbangan Supply
dan Demand………………………………………………………..
|
3
|
2.2 Pengaruh Ekonomi
Internasional Terhadap Pendapatan Nasional...
|
4
|
2.3 Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Aspek Mikro
Perusahaan…………………………………………………………
|
5
|
2.4 Dampak
Perdagangan Internasional Terhadap Perekonomian
Nasional……………………………………………………………
|
9
|
|
|
BAB III PENUTUP
|
|
3.1 Kesimpulan………………………………………………….........
|
11
|
3.2 Saran..…………………………….………………………………
|
11
|
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan
industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku
dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh,
dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam
pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag, pekerja/buruh atau serikat pekerja
buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran
masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD.
Dalam
makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial
prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu
perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar
karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu
juga latar belakang penulismakalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan
oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut. Penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah sejarah
hubungan industrial ?
1.2.2 Apa saja sebab – sebab
dibentuknya hubungan industrial ?
1.2.3 Pihak mana saja yang
terkait dengan hubungan industrial ?
1.2.4 Bagaimanakah masuknya
hubungan industrial masuk ke Indonesia ?
1.3 Maksud dan Tujuan
1.3.1 mengetahui sejarah hubungan industrial
1.3.2 mengetahui sebab dibentuknya hubungan industrial
1.3.3 mengetahui pihak mana yang terkait dengan
hubungan industrial
1.3.4 mengetahui bagaimana masuknya hubungan
industrial ke Indonesia
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan bagi penulis antara lain adalah unuk mengetahui dan memahami
bagaimana sejarah hubungan industrial, mengapa dibentuknya hubungan industrial,
pihak mana sajakah yang terkait dalam hubungan industrial, serta bagaimana
hubungan industrial masuk ke Indonesia. Sedangkan manfaat makalah ini bagi
pembaca adalah pembaca dapat mengetahui dan menambah wawasan tentang hubungan
industrial.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Hubungan
Industrial
Hubungan Industrial adalah
suatu subjek, sikap dan perilaku orang-orang di dalam perusahaan dan mencari
sebab-sebab yang menentukan terjadinya perilaku tersebut serta mencarikan
jawaban terhadap penyimpanan-penyimpanan yang terjadi.
2.1.1
Perkembangan semasa revolusi Industri
Hubungan
Industrial dibahas orang baru sejak revolusi pada pertengahan abad ke18.karena
hubungan antara pekerja dan pengusaha masih saling secara pribadi, masalh dapat
diselesaikan secra pribadi dan bersifat kekeluargaan. Setelah revolusi
perubahan besar dalam berproduksi, akibatnya perusahaan bertambah besar dengan
berproduksi yang berbeda dengan sebelumnya.
Bertambah
besarnya perusahaan antara pekerja dengan pengusaha tidak lagi mengenal secara
pribadi, masalah yang timbul tidak gampang lagi untuk diselesaikan. Mulailah
orang mempelajari dan membahas masalah hubungan antara pekerja dengan pengusah
yang merupakan cikal bakal berkembanganya bidang ubungan Industrial.
2.1.2
Perkembangan Sesudah Revolusi Industri sampai akhir abad ke19
Berkembangnya
faham Liberalisme oleh Adam Smith ahli ekonomi klasik Inggeris. Teori ’ Free
Fight Liberalism’ melahirkan pandangan bahwa :
a. Pekerja
dan pengusaha mempunyai hubungan bersifat konflik, karena pengusaha akan selalu
mencari keuntungan dan pekerja berusaha mendapat upah yang besar
b. Konflik
akan berusaha mencapai titik temu akan terjadi adu kekuatan secara bebas
Lahirlah
hubungan industrial berdasarkan Liberalisme, pekerja banyak dirugikan karena
pekerja terlalu lemah, pekerja menghimpun diri suatu organisasi, lahirlah
Serikat Pekerja Pertama di Inggris abad ke19.
2.1.3
Perkembangan Pada Permulaan abad ke20
Insinyur
Amerika F.W. Taylor mengembangkan tekhnik’ Scientific Management ”. Pendekatan
ini memandang pekerja sebagai benda mati/ alat produksi dan mengembangkan
metode penelahaan waktu dan gerak untuk menentukan dasar suatu pekerjaan.
Pandangan
yang lebih modern dalam bidang manajement baru berkembang pada tahun
1930an.peneliti menjadikan lima orang pekerja wanita untuk objek penelitian.
Pekerja tersebut diberikan waktu istirahat. Kesimpulan ” Hawthorne ” adalah :
A. Perilaku
individu tidak sepenuhnya mempengaruhi penampilan kerja
B. Organisasi
informal mempunyai pengaruh terhadap produktifitas
C. Perusahaan
suatu sistem social
2.2
Sebab – sebab dibentuknya hubungan industrial
Perselisihan
di antara pelaku dalam proses produksi disebut dengan perselisihan industrial.
Perselisihan industrial dapat diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau gabungan pengusaha dengan pekerja
atau serikat pekerja meyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan kerja
serta perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan.
Perselisihan
pekerja biasanya diawali dengan tuntutan pekerja, baik secara lisan maupun
tulisan. Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera
ditanggapi oleh pihak pengusaha, tidak segera dilakukan perundingan, atau
karena kesepakatan antara manajemen dan pekerja tentang jenis tuntutan atau
nilai tuntutan belum tercapai.
Suatu
penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU (2002) menyimpulkan empat penyebab
utama perselisihan industrial, yaitu:
1. Tuntutan
non-formatif, yaitu suatu tuntutan yang berhubungan denganhal-hal yang tidak
diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. Perselisihan semacam ini muncul
sebagai refleksi dari ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, misalnya
belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transportasi dan uang
susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem
pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di
perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas,
dan hal lain-lain.
2. Tuntutan
normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam peraturan
perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB/KKB, maupun penyesuaian
terhadap kebijakan pemerintah yang baru. Misalnya, pelaksanaan Upah Minimum
Regional (UMR) atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama (tripartit),
uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukkan
serikat pekerja dan pemilihan pengurus secara demokratis, Tunjangan Hari Tua
(THT), Tunjangan Hari Raya (THR), dan pemberian pesangon.
3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja
dari perusahaan lain atau serikat pekerja afiliasi lain) dan aksi solidaritas
untuk melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan
upah minimum (UMR), kenaikan uang transportasi dan uang makan sebagai akibat
kenaikan BBM, dan pemberlakuan cuti haid.
4. Tekanan
dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut
berunjuk rasa.
Berdasarkan
temuan penelitian SMERU, perselisihan industri dapat dibagi ke dalam empat
kategori utama menurut intensitas dan cakupannya, yaitu: pertama, perselisihan
ringan, yakni perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan lebih
dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau
tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); kedua,
perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja
dan didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan
secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau
serikat buruh afiliasi); ketiga, perselisihan berat, yaitu perselisihan
industrial tanpa mogok kerja yang dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan
P-4D/P-4P; keempat, perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial
yang disertai mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang belum atau
dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P.
Menurut
Hyman (1984), pemogokan dapat didefinisikan sebagai a temporary stoppage of
work by a group of employees in order to express grievance or enforce demand.
Definisi lain tentang pemogokan dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun
1997, yaitu suatu tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau
memperlambat pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan perselisihan
industrial yang dilakukan, agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja. Namun,
dalam kenyataannya, pemogokan tidak selalu harus didahului dengan gagalnya
perundingan tetapi dapat juga terjadi pada saat perundingan sedang berlangsung
atau mendahului suatu perundingan untuk memaksa agar perundingan segera
dilakukan.
Dalam
konteks hubungan industrial, negara memiliki peran normatif yang secara
mendasar memang potensial untuk dominan, seperti peran sebagai legislator,
pemilik modal, agen resolusi konflik, pengelola ekonomi, dan pengatur hubungan
industrial. Namun, melalui peran normatifnya ini negara juga tidak jarang
terjebak ke dalam kontradiksi antara logika akumulasi modal yang mengabaikan
syarat dan ketentuan ketenegakerjaan dengan logika akomodasi yang seharusnya
melindungi korban-korban dari akumulasi modal. Kontradiksi semacam inilah yang
membuat peran negara cenderung berada di antara dilema sebagai sumber
keuntungan sepihak bagi modal atau sebaliknya menjadi sumber kesejahteraan bagi
pekerja atau justru berhasil dalam menciptakan keseimbangan antara kontradiksi
tersebu
2.3
Pihak yang terkait dengan hubunan industrial
Dalam
hubungan industrial, setidaknya ada tiga pelaku yang saling berinteraksi, yaitu
pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pekerja dan pengusaha merupakan pelaku
utama hubungan industrial ditingkat perusahaan. Dalam hal ini, pekerja dan
pengusaha mempunyai hak yang sama melindungi dan mengamankan kepentingan
masing-masing bahkan berhak melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila
perlu. Hubungan keduanya juga berpotensi mengundang konflik yang berkaitan
dengan perbedaan persepsi terhadap kepentingan masing-masing.
Fungsi
pemerintah dalam hubungan industrial adalah membuat peraturan dan perundangan
ketenagakerjaan agar hubungan keduanya berjalan seimbang dilandasi pengaturan
hak dan kewajiban yang ada. Selain itu, pemerintah berfungsi menyelesaikan
berbagai perselisihan industrial yang terjadi secara adil.
Tiga pelaku industrial
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengusaha (Manajemen).
Istilah
manajemen merujuk pada individu yang bertanggung jawab merealisasikan tujuan
dari pengusaha dan organisasi kerja mereka. Manajemen sekurangnya mencakup tiga
kelompok. Pertama, para pemilik dan pemegang saham perusahaan. Kedua, jajaran
direktur eksekutif dan manager. Ketiga, personalia Human Resources Departement
(HRD), yang bertanggung jawab khusus mengatur hubungan perusahaan dengan buruh
serta serikat buruh. Manajemen berperan melakukan negosiasi dan
menginvestasikan peraturan-peraturan dan kebijakn-kebijakan perusahaan tentang
hubungan industrial.
2. Buruh
Istilah
buruh (labour) meliputi pekerja dan serikat buruh yang mewakili mereka. Para
buruh dapat mempengaruhi perusahaan untuk memenuhi tuntutan mereka melalui
serikat buruh.
Penduduk
dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan
kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan sedang mencari kerja.
Sedangkan, bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (>15 tahun) yang
tidak bekerja dan tidak mencari kerja. Buruh dalam konteks Indonesia adalah
mereka yang dalam angkatan kerja.
3. Pemerintah
Yang masuk
dalam istilah pemerintah yaitu pertama, pemerintah lokal dan pemerintah pusat.
Kedua, lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab membuat atau merubah
kebijakan publik yang mempengaruhi hubungan industrial. Ketiga, pemerintah
sebagai representasi dari berbagai kepentingan publik.
Pemerintah
bisa berperan sebagai regulator dengan mengeluarkan peraturan perburuhan, misal
peraturan bagaimana para pekerja membentuk serikat buruh dan pengaturan hak dan
kewajiban yang bisa dimiliki oleh serikat buruh (Kartz dan Kochan, 1992).
2.4 Hubungan industrial di Indonesia
Perkembangan
hubungan industrial di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode
kolonial, periode pasca kemerdekaan dan demokrasi terpimpin, periode Orde Baru,
dan periode pasca Orde Baru.
1. Periode Kolonial
Hubungan
industrial mulai dikenal di indonesia bersamaan dengan pertumbuhan modal swasta
di indonesia. Pertumbuhan modal swasta ini membuka peluang bagi orang-orang
Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-bidang tertentu
dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu, hubungan industrial lebih
mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan perusahaan-perusahaan
swasta Eropa dan pemerintrah Belanda. Sementara itu, kaum buruh bumiputra
ditempatkan pada status yang paling rendah dalam stratifikasi masyarakat
kolonial sehingga hubungan antara kaum buruh bumiputra dengan manajemen
perusahaan swasta Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak
atau pihak penjajah dengan pihak yang dijajah.
Namun di
balik perkembangan hubungan industrial pada masa kolonial dimulai ketika
berdiri serikat buruh pertama untuk orang Indonesia pada tahun 1908, yakni Serikat
Buruh Kereta Api (VSTP – Vereeniging voor spoor en Tramweg Personeel). VSTP
dikenal organisasi pelopor dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia dan
berkembang sebagai wadah persatuan bagi seluruh buruh kereta api, baik swasta
maupun pemerintahan.
Setelah
kepemimpinan VSTP dikendalikan oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Henk
Sneevliet dan Semaun maka sistem hubungan industrial yang berlaku pada waktu
itu mulai digugat.dan sejak saat itu, sampai tahun 1926, hubungan industrial
lebih banyak diwarnai gejolak industrial berupa pemogokan yang menuntut
perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Dan dari adanya penjelasan di atas dapat
dilihat bahwa pergeseran struktur ekonomi kolonial di Hindia Belanda dari
kebijakan tanam paksa ke liberalisme ekonomi, tidak sepenuhnya di ikuti oleh
perubahan struktur masyarakat yang kondusif. Karena hubungan-hubungan sosial
lama yang feodalistik dan paternalistik tetap dipertahankan dan akhirnya
kembali menjustifikasi hubungan–hubungan (struktur) produksi yang eksploitatif
di antara buruh dan majikan. Ada beberapa fase hubungan industrial:
Fase
pertama:
Dorongan
beraksi dalam bidang industri sampai Tahun 1925.
Fase ini di
tandai, terutama dengan pertumbuhan pesat organisasi-organisasi sukarela pada
Tahun 1910-an, seperti perkumpulan keagamaan, partai politik dan serikat buruh
yang terorganisasi. Pada fase ini, aksi-aksi pemogokan buruh adalah hal yang
bisa ditolerir oleh pemerintah Belanda.
Fase kedua:
Perhatian terhadap jaminan
sosial (1926 -1930).
Undang-undang
pidana yang dikeluarkan pemerintahan kolonial di awal tahun 1920–an,
pemberontakan PKI yang pada akhir tahun 1926, dan gagalnya aksi-aksi pemogokan
yang dilakukan serikat buruh membuat serikat–serikat buruh kesulitan untuk
menuntut manajemen perusahaan meningkat kesejahteraan buruh. Pemerintahan
Belanda sangat membatasi kegiatan-kegiatan hubungan industrial yang berbentuk
pemogokan. Sehingga memaksa sebagian besar serikat buruh mencari cara
alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Dengan cara mengumpulkan
dana-dana kesejahteraan sosial dari para anggota serikat buruh dan membentuk
organisasi dana bantuan gotong-royong.
Fase ketiga:
Masa depresi (1930-1935).
Masa
depresi membuat kaum buruh rentan terhadap pemecatan. Salah satu contonya
adalah satu perusahaan besar memecat 1169 buruh antara Juni sampai Novermber
1930, tapi memburuhkan 488 buruh baru.salah satu perubahan kereta api swasta
besar, perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, juga melakukan hal yang sama pada
Tahun 1931.
Fase keempat:
Pemulihan ekonomi
(1936-1941).
Pada fase
pemulihan ekonomi, kegiatan-kegiatan serikat buruh terpusat pada kesejahteraan
sosial dan pengembangan koperasi, dana simpanan dan kegiatan-kegiatan bantuan
gotong-royong. Serikat buruh terus mendorong para anggotanya untuk tetap
menyumbang demi kepentingan dana tersebut, dan bekerja dengan serikat-serikat
buruh mereka dalam membangun usaha koperasi yang baru. Dan dengan demikian
kegiatan utama serikat-serikat buruh adalah mengorganisir para buruh dalam
sebuah sebuah industrial, di sebuah tempat kerja maupun suatu daerah menjadi
suatu tindakan bersama dalam rangka memperbaiki gaji dan kondisi buruh. Di
pihak lain, pemerintahan kolonial Belanda menganggap segala usaha untuk
mengorganisir para buruh pribumi merupakan aktifitas politik yang mengancam,
tidak hanya kepentingan-kepentingan ekonomi perusahaan Eropa tetapi juga
keberadaan negara kolonial.
2. Periode Awal Kemerdekaan
dan Demokrasi Terpimpin
Pada
permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan yang
signifikan, yaitu masih diwarnai oleh orientasi politik. Setelah kemerdekaan
terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang diprakarsai oleh para tokoh
buruh dalam rangka ikut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada dua pemikiran yang muncul yang membuat BBI pecah menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok yang memandang perlunya keterlibatan organisasi buruh dalam
gerakan politik, salah satunya dengan mendirikan partai politik, yaitu Partai
Buruh Indonesia. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa organisasi buruh tidak
perlu disatukan dengan gerakan politik tetapi memusatkan perhatian pada bidang
sosial-ekonomi, yang kemudian membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia
(GASBI) yang kemudian bergabung dengan Gerakan Serikat Buruh Vertikal (GSBV)
dan berubah nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada masa
pemerintahan Perdana Menteri M. Natsir, atau dekade lima puluhan gerakan buruh
sulit dipisahkan dari gerakan politik. Polarisasi di kalangan organisasi buruh
sering diakibatkan oleh perbedaan orientasi politik. Polarisasi yang menonjol
pada masa itu adalah munculnya upaya untuk membendung perkembangan SOBSI yang
beraliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan cara diberlakukannya
peraturan pelarangan mogok dan pembentukan organisasi-organisasi buruh
tandingan yang menjadi organ partai politik. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa gerakan buruh pada masa ini lebih banyak dipusatkan pada gerakan politik
dibandingkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Pada dekade
enam puluhan atau tepatnya setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959, hubungan industrial juga masih dipengatuhi oleh gerakan-gerakan politik.
Pada masa ini hubungan industrial yang bersifat antagonistis dan konfrontatif
makin menonjol yang tidak hanya dilakukan oleh partai komunis saja tapi juga
ditiru oleh serikat buruh lainnya. Hal ini berlanjut sampai akhirnya terjadi
peristiwa G30 S/PKI di mana serikat buruh SOBSI kembali menjadi tulang punggung
pemberontakan tersebut.
Setelah
peristiwa G30 S/PKI, muncul dua wadah dalam lingkungan serikat buruh, yaitu
Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang memusatkan perhatian pada aksi-aksi
politik, dan Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang menitikberatkan pada
masalah-masalah sosial-ekonomi.
3. Periode Pemerintahan Orde
Baru
Pada masa
ini terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali seperti pada
masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan
industrial di Indonesia, dengan kata lain gerakan-gerakan buruh menjadi sepi
secara politik. Berkaitan dengan hal itu, apa yang dikemukakan oleh Hilmar Farid
(2002), mungkin bisa membantu
Munculnya
Orde Baru ditandai oleh penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer
menerapkan model exclusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses
pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan
buruh yang tumbuh subur sebelum Tahun 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh
dan menangkapi aktivis sayap kirinya) dan Tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh
Seluruh Indonesia sebagai wadah tunggal.
Militer
yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi
perusahaan Tahun 1957 memegang peranan utama dalam mengontrol gerakan buruh
semasa Orde Baru. Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi
Menteri Tenaga Kerja pertengahan Tahun 1980-an merombak wadah tunggal menjadi
semakin terpusat dan dikontrol dengan nama baru, Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (SBSI). Dengan sistem perburuhan seperti ini pemerintah mulai
meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju industrialisasi.
Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati keuntungan berlipat tapi pada
saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis.
Ada
sekurang-kurangnya dua faktor yang mendasari politik perburuhan represif yang
dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, secara politik, pengekangan
terhadap gerakan buruh bermaksud untuk mencegah kemunculan kembali
anasir-anasir radikal atau kiri dalam gerakan buruh dan secara umum untuk membatasi
ruang gerak tiap organisasi yang bersifat massal, termasuk organisasi gerakan
buruh. Kedua, secara ekonomi, pembatasan gerakan buruh dimaksudkan untuk
memuluskan jalannya tuntutan-tuntutan berbagai agenda ekonomi waktu itu dan ada
sedikit relasi langsung dengan kebutuhan, seperti strategi Industri Substitusi
Impor (ISI) atau keperluan untuk menarik modal asing (Jebatu, 2004).
Pada dekade
1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami keletihan, fatigue,
restrukturisasi dan cengkeraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai mengendur
atau longgar, ditandai dengan munculnya fenomena dan eksperimen serikat-serikat
buruh di luar serikat buruh “resmi” atau diakui oleh negara. Ini menunjukkan
bahwa telah terjadi perubahan hubungan-hubungan kelas: buruh – modal – negara.
Pada era
ini sumber pemogokan buruh industrial bisa disebabkan menjadi dua faktor, yaitu
faktor-faktor yang bersumber pada struktur dasar industrial Indonesia dan
faktor konsentrasi-industrial. Namun, upaya untuk memahami resistensi dan konflik
industrial belum cukup hanya mendasarkan pada penjelasan terhadap konflik kelas
di antara kapital dan buruh, tapi perlu memeriksa perkembangan industrialisasi
Indonesia dan lebih khusus mencermati kontradiksi inheren dalam transisi dari
kebijakan melihat ke dalam yang tercermin dalam kebijakan Industri Substitusi
Impor (ISI) menuju kebijakan memandang keluar Industri Berorientasi Ekspor
(IBE), dan menuju kebijakan ekonomi pasar terbuka yang kompetitif.
Robison
(1998) berpendapat bahwa jika peralihan dari ISI ke IBE tidak diikuti oleh
perubahan-perubahan praktik-politik maka akan menimbulkan kontradiksi inheren
dalam transisi itu sendiri. Dengan demikian, apabila hubungan-hubungan
industrial tidak megalami perubahan, sementara pada level kebijakan telah terjadi
pergeseran dari kebijakan ISI ke IBE maka kontradiksi itu akan melahirkan
gelombang pemogokan buruh.
2.4
Perbedaan hubungan industrial dengan manajemen sumber daya manusia
2.4.1 Hubungan Industrial
Hubungan
industrial pada awalnya dimulai dengan hubungan kerja. Hubungan dimulai ketika
seseorang bersedia menerima kompensasi dengan imbalan kerja saya. e. kontrak
kerja. Kontrak ini memiliki dimensi legal. Misalnya, manajemen harus membayar
upah dan gaji, memberikan cuti, lingkungan kerja yang aman dan fasilitas
lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, keputusan yang
diambil oleh manajer dan pengusaha mempengaruhi hubungan industrial. Dalam
kasus ini, jika ada praktik diskriminasi, pelecehan, atau perselisihan yang
tidak adil, karyawan dapat mengambil tindakan hukum terhadap pengusaha. Pentingnya
hubungan industrial dapat didaftar sebagai berikut:
1. Memastikan
kelancaran arus operasi bisnis dengan menjaga kepentingan karyawan dan pengusaha
di organisasi.
2. Mengurangi
perselisihan industrial, yang secara langsung akan berdampak pada
produktivitas. Hubungan industrial meningkatkan moral karyawan karena mereka
bekerja di lingkungan yang damai dan aman.
3. Mendorong
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berdasarkan kinerja karyawan dan kepemimpinan yang baik dari
pengusaha.
4. Menghambat
praktik yang tidak adil karena kedua belah pihak (karyawan dan pengusaha)
bekerja sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku.
2.4.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen
sumber daya manusia terdiri dari kerangka kerja kegiatan dan praktik yang
mendukung dan mengembangkan tenaga kerja yang termotivasi, sementara pada saat
yang sama, mematuhi undang-undang dan peraturan yang mengatur hubungan pengusaha
/ karyawan. Manajemen sumber daya manusia yang efektif secara langsung
berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Tujuan pengelolaan sumber daya
manusia yang baik adalah, menciptakan kesempatan kerja sesuai dengan visi, misi
dan tujuan organisasi. Pentingnya manajemen sumber daya manusia adalah sebagai
berikut :
1. Pertahankan
perpaduan yang tepat antara karyawan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan organisasi.
2. Berikan
perlakuan yang adil dan kondisi kerja yang menyenangkan bagi karyawan.
3. Ciptakan
lingkungan kerja yang positif dan ramah.
4. Berikan
struktur untuk membantu karyawan agar lebih efektif dalam pekerjaan mereka.
2.4.3 Perbedaan antara Hubungan Industrial dan Manajemen Sumber Daya
Manusia
Manajemen
sumber daya manusia berfokus pada cara mengelola sumber daya manusia secara
efektif di dalam sebuah organisasi dan hubungan industrial adalah tentang
membangun hubungan baik antara pengusaha dan karyawan.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar