HUBUNGAN INDUSTRIAL


MAKALAH
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Makalah ini buat sebagai tugas mata kuliah Hubungan Industrial Pancasila





Disusun oleh :
Nazla Latifa Hanum (34217470)


Kelas :
2DD02



MANAJEMEN PEMASARAN
D3 BISNIS DAN KEWIRAUSAHAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2019

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya,  kami dapat menyelesaikan makalah industrial. Makalah ini kami buat sebagai syarat dalam kegiatan belajar di kelas kami. Tujuan dan manfaat makalah ini adalah agar dapat mengetahui hubungan industrial.
Kami berharap makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi penulis serta pembaca. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan mohon maaf  jika proposal kami masih banyak kesalahan. Untuk itu kami berharap adanya kritik dan saran untuk membangun kami sebagai perbaikan dimasa depan.


Bekasi, 19 Oktober 2019


Penulis













DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………….
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………...
ii
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
iii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………..........
1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………......
1
1.3 Maksud dan Tujuan……………………………………………......
2
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………....
2


BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Keseimbangan  Supply  
      dan Demand………………………………………………………..
3
2.2 Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Pendapatan Nasional...
4
2.3 Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Aspek Mikro
      Perusahaan…………………………………………………………
5
2.4 Dampak Perdagangan Internasional Terhadap Perekonomian     
          Nasional……………………………………………………………
9


BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………….........
11
3.2 Saran..…………………………….………………………………
11










BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hubungan industrial merupakan suatu system hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam produksi barang dan jasa yang terdiri unsure pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintag yang didasari nilai-nilai pancasila dan UUD Negara RI. Dalam pelaksanaan hubungan industrial, pemerintag, pekerja/buruh atau serikat pekerja buruh serta penngusaha atau organisasi pengusaha mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang sudah digariskan dalam UUD.
Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hubungan industrial prinsip-prinsip industrial. Dengan adanya hubungan industrial dalam suatu perusaaan, maka akan dapat meningkatkan produktivitas dan kerjasama antar karyawan dan pengusaha sehingga perusahaan dapat berjalan terus. Selain itu juga latar belakang penulismakalah ini adalah sebagaimana tugas yang diberikan oleh dosen yang kemudian akan digabungkan dengan berbagai materi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang tersebut. Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah sejarah hubungan industrial ?
1.2.2 Apa saja sebab – sebab dibentuknya hubungan industrial ?
1.2.3 Pihak mana saja yang terkait dengan hubungan industrial ?
1.2.4 Bagaimanakah masuknya hubungan industrial masuk ke Indonesia ?

1.3 Maksud dan Tujuan
1.3.1 mengetahui sejarah hubungan industrial
1.3.2 mengetahui sebab dibentuknya hubungan industrial
1.3.3 mengetahui pihak mana yang terkait dengan hubungan industrial
1.3.4 mengetahui bagaimana masuknya hubungan industrial ke Indonesia



1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan bagi penulis antara lain adalah unuk mengetahui dan memahami bagaimana sejarah hubungan industrial, mengapa dibentuknya hubungan industrial, pihak mana sajakah yang terkait dalam hubungan industrial, serta bagaimana hubungan industrial masuk ke Indonesia. Sedangkan manfaat makalah ini bagi pembaca adalah pembaca dapat mengetahui dan menambah wawasan tentang hubungan industrial.




















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Hubungan Industrial
Hubungan Industrial adalah suatu subjek, sikap dan perilaku orang-orang di dalam perusahaan dan mencari sebab-sebab yang menentukan terjadinya perilaku tersebut serta mencarikan jawaban terhadap penyimpanan-penyimpanan yang terjadi.
2.1.1 Perkembangan semasa revolusi Industri
Hubungan Industrial dibahas orang baru sejak revolusi pada pertengahan abad ke18.karena hubungan antara pekerja dan pengusaha masih saling secara pribadi, masalh dapat diselesaikan secra pribadi dan bersifat kekeluargaan. Setelah revolusi perubahan besar dalam berproduksi, akibatnya perusahaan bertambah besar dengan berproduksi yang berbeda dengan sebelumnya.
Bertambah besarnya perusahaan antara pekerja dengan pengusaha tidak lagi mengenal secara pribadi, masalah yang timbul tidak gampang lagi untuk diselesaikan. Mulailah orang mempelajari dan membahas masalah hubungan antara pekerja dengan pengusah yang merupakan cikal bakal berkembanganya bidang ubungan Industrial.
2.1.2 Perkembangan Sesudah Revolusi Industri sampai akhir abad ke19
Berkembangnya faham Liberalisme oleh Adam Smith ahli ekonomi klasik Inggeris. Teori ’ Free Fight Liberalism’ melahirkan pandangan bahwa :
a. Pekerja dan pengusaha mempunyai hubungan bersifat konflik, karena pengusaha akan selalu mencari keuntungan dan pekerja berusaha mendapat upah yang besar
b. Konflik akan berusaha mencapai titik temu akan terjadi adu kekuatan secara bebas
Lahirlah hubungan industrial berdasarkan Liberalisme, pekerja banyak dirugikan karena pekerja terlalu lemah, pekerja menghimpun diri suatu organisasi, lahirlah Serikat Pekerja Pertama di Inggris abad ke19.



2.1.3 Perkembangan Pada Permulaan abad ke20
Insinyur Amerika F.W. Taylor mengembangkan tekhnik’ Scientific Management ”. Pendekatan ini memandang pekerja sebagai benda mati/ alat produksi dan mengembangkan metode penelahaan waktu dan gerak untuk menentukan dasar suatu pekerjaan.
Pandangan yang lebih modern dalam bidang manajement baru berkembang pada tahun 1930an.peneliti menjadikan lima orang pekerja wanita untuk objek penelitian. Pekerja tersebut diberikan waktu istirahat. Kesimpulan ” Hawthorne ” adalah :
A. Perilaku individu tidak sepenuhnya mempengaruhi penampilan kerja
B. Organisasi informal mempunyai pengaruh terhadap produktifitas
C. Perusahaan suatu sistem social
2.2 Sebab – sebab dibentuknya hubungan industrial
Perselisihan di antara pelaku dalam proses produksi disebut dengan perselisihan industrial. Perselisihan industrial dapat diartikan sebagai perselisihan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja meyangkut masalah hak, kepentingan, dan pemutusan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan.
Perselisihan pekerja biasanya diawali dengan tuntutan pekerja, baik secara lisan maupun tulisan. Perselisihan timbul ketika usulan atau tuntutan pekerja tidak segera ditanggapi oleh pihak pengusaha, tidak segera dilakukan perundingan, atau karena kesepakatan antara manajemen dan pekerja tentang jenis tuntutan atau nilai tuntutan belum tercapai.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh lembaga SMERU (2002) menyimpulkan empat penyebab utama perselisihan industrial, yaitu:
1. Tuntutan non-formatif, yaitu suatu tuntutan yang berhubungan denganhal-hal yang tidak diatur dalam peraturan perundangan dan PKB/KKB. Perselisihan semacam ini muncul sebagai refleksi dari ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja, misalnya belum adanya atau relatif rendahnya uang makan, uang transportasi dan uang susu, pakaian seragam, uang penyelenggaraan dan dana rekreasi, sistem pembayaran upah, cuti haid, kejelasan status pekerja, service charge di perhotelan, fasilitas tempat kerja kurang memadai atau pencabutan fasilitas, dan hal lain-lain.
2. Tuntutan normatif, yaitu tuntutan terhadap hak-hak yang telah diatur dalam peraturan perundangan dan hak-hak yang telah disepakati dalam PKB/KKB, maupun penyesuaian terhadap kebijakan pemerintah yang baru. Misalnya, pelaksanaan Upah Minimum Regional (UMR) atau upah yang telah menjadi kesepakatan bersama (tripartit), uang lembur, cuti melahirkan, tunjangan perkawinan dan melahirkan, bonus, pembentukkan serikat pekerja dan pemilihan pengurus secara demokratis, Tunjangan Hari Tua (THT), Tunjangan Hari Raya (THR), dan pemberian pesangon.
3. Provokasi oleh pihak ketiga di luar perusahaan (misalnya oleh pekerja dari perusahaan lain atau serikat pekerja afiliasi lain) dan aksi solidaritas untuk melakukan tuntutan bersama secara massal, misalnya menuntut pemberlakuan upah minimum (UMR), kenaikan uang transportasi dan uang makan sebagai akibat kenaikan BBM, dan pemberlakuan cuti haid.
4. Tekanan dari beberapa pekerja di dalam perusahaan yang memaksa pekerja lain agar ikut berunjuk rasa.
Berdasarkan temuan penelitian SMERU, perselisihan industri dapat dibagi ke dalam empat kategori utama menurut intensitas dan cakupannya, yaitu: pertama, perselisihan ringan, yakni perselisihan industrial tanpa mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); kedua, perselisihan sedang, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan didampingi atau melibatkan lebih dari satu pekerja yang dapat diselesaikan secara bipartit (baik didampingi atau tidak didampingi oleh serikat buruh atau serikat buruh afiliasi); ketiga, perselisihan berat, yaitu perselisihan industrial tanpa mogok kerja yang dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P; keempat, perselisihan sangat berat, yaitu perselisihan industrial yang disertai mogok kerja dan melibatkan lebih dari satu pekerja yang belum atau dapat diselesaikan di tingkat tripartit dan P-4D/P-4P.
Menurut Hyman (1984), pemogokan dapat didefinisikan sebagai a temporary stoppage of work by a group of employees in order to express grievance or enforce demand. Definisi lain tentang pemogokan dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1997, yaitu suatu tindakan pekerja secara bersama-sama menghentikan atau memperlambat pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan perselisihan industrial yang dilakukan, agar pengusaha memenuhi tuntutan pekerja. Namun, dalam kenyataannya, pemogokan tidak selalu harus didahului dengan gagalnya perundingan tetapi dapat juga terjadi pada saat perundingan sedang berlangsung atau mendahului suatu perundingan untuk memaksa agar perundingan segera dilakukan.
Dalam konteks hubungan industrial, negara memiliki peran normatif yang secara mendasar memang potensial untuk dominan, seperti peran sebagai legislator, pemilik modal, agen resolusi konflik, pengelola ekonomi, dan pengatur hubungan industrial. Namun, melalui peran normatifnya ini negara juga tidak jarang terjebak ke dalam kontradiksi antara logika akumulasi modal yang mengabaikan syarat dan ketentuan ketenegakerjaan dengan logika akomodasi yang seharusnya melindungi korban-korban dari akumulasi modal. Kontradiksi semacam inilah yang membuat peran negara cenderung berada di antara dilema sebagai sumber keuntungan sepihak bagi modal atau sebaliknya menjadi sumber kesejahteraan bagi pekerja atau justru berhasil dalam menciptakan keseimbangan antara kontradiksi tersebu
2.3 Pihak yang terkait dengan hubunan industrial
Dalam hubungan industrial, setidaknya ada tiga pelaku yang saling berinteraksi, yaitu pekerja, pengusaha, dan pemerintah. Pekerja dan pengusaha merupakan pelaku utama hubungan industrial ditingkat perusahaan. Dalam hal ini, pekerja dan pengusaha mempunyai hak yang sama melindungi dan mengamankan kepentingan masing-masing bahkan berhak melakukan tekanan melalui kekuatan bersama bila perlu. Hubungan keduanya juga berpotensi mengundang konflik yang berkaitan dengan perbedaan persepsi terhadap kepentingan masing-masing.
Fungsi pemerintah dalam hubungan industrial adalah membuat peraturan dan perundangan ketenagakerjaan agar hubungan keduanya berjalan seimbang dilandasi pengaturan hak dan kewajiban yang ada. Selain itu, pemerintah berfungsi menyelesaikan berbagai perselisihan industrial yang terjadi secara adil.
Tiga pelaku industrial dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengusaha (Manajemen).
Istilah manajemen merujuk pada individu yang bertanggung jawab merealisasikan tujuan dari pengusaha dan organisasi kerja mereka. Manajemen sekurangnya mencakup tiga kelompok. Pertama, para pemilik dan pemegang saham perusahaan. Kedua, jajaran direktur eksekutif dan manager. Ketiga, personalia Human Resources Departement (HRD), yang bertanggung jawab khusus mengatur hubungan perusahaan dengan buruh serta serikat buruh. Manajemen berperan melakukan negosiasi dan menginvestasikan peraturan-peraturan dan kebijakn-kebijakan perusahaan tentang hubungan industrial.
2. Buruh
Istilah buruh (labour) meliputi pekerja dan serikat buruh yang mewakili mereka. Para buruh dapat mempengaruhi perusahaan untuk memenuhi tuntutan mereka melalui serikat buruh.
Penduduk dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja adalah mereka yang bekerja dan sedang mencari kerja. Sedangkan, bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (>15 tahun) yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja. Buruh dalam konteks Indonesia adalah mereka yang dalam angkatan kerja.
3. Pemerintah
Yang masuk dalam istilah pemerintah yaitu pertama, pemerintah lokal dan pemerintah pusat. Kedua, lembaga-lembaga pemerintah yang bertanggung jawab membuat atau merubah kebijakan publik yang mempengaruhi hubungan industrial. Ketiga, pemerintah sebagai representasi dari berbagai kepentingan publik.
Pemerintah bisa berperan sebagai regulator dengan mengeluarkan peraturan perburuhan, misal peraturan bagaimana para pekerja membentuk serikat buruh dan pengaturan hak dan kewajiban yang bisa dimiliki oleh serikat buruh (Kartz dan Kochan, 1992).
2.4 Hubungan industrial di Indonesia
Perkembangan hubungan industrial di Indonesia dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode kolonial, periode pasca kemerdekaan dan demokrasi terpimpin, periode Orde Baru, dan periode pasca Orde Baru.


1. Periode Kolonial
Hubungan industrial mulai dikenal di indonesia bersamaan dengan pertumbuhan modal swasta di indonesia. Pertumbuhan modal swasta ini membuka peluang bagi orang-orang Eropa untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan bidang-bidang tertentu dalam sistem birokrasi kolonial. Pada masa itu, hubungan industrial lebih mencerminkan hubungan antara para buruh Eropa dengan perusahaan-perusahaan swasta Eropa dan pemerintrah Belanda. Sementara itu, kaum buruh bumiputra ditempatkan pada status yang paling rendah dalam stratifikasi masyarakat kolonial sehingga hubungan antara kaum buruh bumiputra dengan manajemen perusahaan swasta Eropa lebih mencerminkan hubungan antara majikan dan budak atau pihak penjajah dengan pihak yang dijajah.
Namun di balik perkembangan hubungan industrial pada masa kolonial dimulai ketika berdiri serikat buruh pertama untuk orang Indonesia pada tahun 1908, yakni Serikat Buruh Kereta Api (VSTP – Vereeniging voor spoor en Tramweg Personeel). VSTP dikenal organisasi pelopor dalam sejarah pergerakan buruh di Indonesia dan berkembang sebagai wadah persatuan bagi seluruh buruh kereta api, baik swasta maupun pemerintahan.
Setelah kepemimpinan VSTP dikendalikan oleh tokoh-tokoh sosialis, seperti Henk Sneevliet dan Semaun maka sistem hubungan industrial yang berlaku pada waktu itu mulai digugat.dan sejak saat itu, sampai tahun 1926, hubungan industrial lebih banyak diwarnai gejolak industrial berupa pemogokan yang menuntut perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Dan dari adanya penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pergeseran struktur ekonomi kolonial di Hindia Belanda dari kebijakan tanam paksa ke liberalisme ekonomi, tidak sepenuhnya di ikuti oleh perubahan struktur masyarakat yang kondusif. Karena hubungan-hubungan sosial lama yang feodalistik dan paternalistik tetap dipertahankan dan akhirnya kembali menjustifikasi hubungan–hubungan (struktur) produksi yang eksploitatif di antara buruh dan majikan. Ada beberapa fase hubungan industrial:
Fase pertama:
Dorongan beraksi dalam bidang industri sampai Tahun 1925.
Fase ini di tandai, terutama dengan pertumbuhan pesat organisasi-organisasi sukarela pada Tahun 1910-an, seperti perkumpulan keagamaan, partai politik dan serikat buruh yang terorganisasi. Pada fase ini, aksi-aksi pemogokan buruh adalah hal yang bisa ditolerir oleh pemerintah Belanda.
Fase kedua:
Perhatian terhadap jaminan sosial (1926 -1930).
Undang-undang pidana yang dikeluarkan pemerintahan kolonial di awal tahun 1920–an, pemberontakan PKI yang pada akhir tahun 1926, dan gagalnya aksi-aksi pemogokan yang dilakukan serikat buruh membuat serikat–serikat buruh kesulitan untuk menuntut manajemen perusahaan meningkat kesejahteraan buruh. Pemerintahan Belanda sangat membatasi kegiatan-kegiatan hubungan industrial yang berbentuk pemogokan. Sehingga memaksa sebagian besar serikat buruh mencari cara alternatif untuk memperbaiki kesejahteraan buruh. Dengan cara mengumpulkan dana-dana kesejahteraan sosial dari para anggota serikat buruh dan membentuk organisasi dana bantuan gotong-royong.
Fase ketiga:
Masa depresi (1930-1935).
Masa depresi membuat kaum buruh rentan terhadap pemecatan. Salah satu contonya adalah satu perusahaan besar memecat 1169 buruh antara Juni sampai Novermber 1930, tapi memburuhkan 488 buruh baru.salah satu perubahan kereta api swasta besar, perusahaan Kereta Api Hindia Belanda, juga melakukan hal yang sama pada Tahun 1931.
Fase keempat:
Pemulihan ekonomi (1936-1941).
Pada fase pemulihan ekonomi, kegiatan-kegiatan serikat buruh terpusat pada kesejahteraan sosial dan pengembangan koperasi, dana simpanan dan kegiatan-kegiatan bantuan gotong-royong. Serikat buruh terus mendorong para anggotanya untuk tetap menyumbang demi kepentingan dana tersebut, dan bekerja dengan serikat-serikat buruh mereka dalam membangun usaha koperasi yang baru. Dan dengan demikian kegiatan utama serikat-serikat buruh adalah mengorganisir para buruh dalam sebuah sebuah industrial, di sebuah tempat kerja maupun suatu daerah menjadi suatu tindakan bersama dalam rangka memperbaiki gaji dan kondisi buruh. Di pihak lain, pemerintahan kolonial Belanda menganggap segala usaha untuk mengorganisir para buruh pribumi merupakan aktifitas politik yang mengancam, tidak hanya kepentingan-kepentingan ekonomi perusahaan Eropa tetapi juga keberadaan negara kolonial.

2. Periode Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin
Pada permulaan kemerdekaan hubungan industrial tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu masih diwarnai oleh orientasi politik. Setelah kemerdekaan terbentuklah Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang diprakarsai oleh para tokoh buruh dalam rangka ikut serta mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ada dua pemikiran yang muncul yang membuat BBI pecah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang memandang perlunya keterlibatan organisasi buruh dalam gerakan politik, salah satunya dengan mendirikan partai politik, yaitu Partai Buruh Indonesia. Kedua, kelompok yang beranggapan bahwa organisasi buruh tidak perlu disatukan dengan gerakan politik tetapi memusatkan perhatian pada bidang sosial-ekonomi, yang kemudian membentuk Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI) yang kemudian bergabung dengan Gerakan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) dan berubah nama menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri M. Natsir, atau dekade lima puluhan gerakan buruh sulit dipisahkan dari gerakan politik. Polarisasi di kalangan organisasi buruh sering diakibatkan oleh perbedaan orientasi politik. Polarisasi yang menonjol pada masa itu adalah munculnya upaya untuk membendung perkembangan SOBSI yang beraliansi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan cara diberlakukannya peraturan pelarangan mogok dan pembentukan organisasi-organisasi buruh tandingan yang menjadi organ partai politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gerakan buruh pada masa ini lebih banyak dipusatkan pada gerakan politik dibandingkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Pada dekade enam puluhan atau tepatnya setelah presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, hubungan industrial juga masih dipengatuhi oleh gerakan-gerakan politik. Pada masa ini hubungan industrial yang bersifat antagonistis dan konfrontatif makin menonjol yang tidak hanya dilakukan oleh partai komunis saja tapi juga ditiru oleh serikat buruh lainnya. Hal ini berlanjut sampai akhirnya terjadi peristiwa G30 S/PKI di mana serikat buruh SOBSI kembali menjadi tulang punggung pemberontakan tersebut.
Setelah peristiwa G30 S/PKI, muncul dua wadah dalam lingkungan serikat buruh, yaitu Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang memusatkan perhatian pada aksi-aksi politik, dan Sekretariat Bersama Buruh (Sekber Buruh) yang menitikberatkan pada masalah-masalah sosial-ekonomi.
3. Periode Pemerintahan Orde Baru
Pada masa ini terjadi gerak balik perkembangan hubungan industrial kembali seperti pada masa kolonial di mana pemerintah terlibat jauh dalam penataan hubungan industrial di Indonesia, dengan kata lain gerakan-gerakan buruh menjadi sepi secara politik. Berkaitan dengan hal itu, apa yang dikemukakan oleh Hilmar Farid (2002), mungkin bisa membantu
Munculnya Orde Baru ditandai oleh penataan ulang hubungan industrial. Penguasa militer menerapkan model exclusionary corporatism yang menyingkirkan buruh dari proses pengambilan keputusan dan menyelesaikan perselisihan dengan represi. Gerakan buruh yang tumbuh subur sebelum Tahun 1965 dihancurkan (dimulai dengan membunuh dan menangkapi aktivis sayap kirinya) dan Tahun 1973 dibentuk Federasi Buruh Seluruh Indonesia sebagai wadah tunggal.
Militer yang mulai terlibat dalam urusan perburuhan ketika terjadi nasionalisasi perusahaan Tahun 1957 memegang peranan utama dalam mengontrol gerakan buruh semasa Orde Baru. Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo yang kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja pertengahan Tahun 1980-an merombak wadah tunggal menjadi semakin terpusat dan dikontrol dengan nama baru, Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI). Dengan sistem perburuhan seperti ini pemerintah mulai meningkatkan produksi untuk ekspor dan mendorong laju industrialisasi. Pengusaha dan birokrat pendukungnya menikmati keuntungan berlipat tapi pada saat bersamaan memelihara kontradiksi yang inheren dalam sistem kapitalis.
Ada sekurang-kurangnya dua faktor yang mendasari politik perburuhan represif yang dikerjakan oleh pemerintahan Orde Baru. Pertama, secara politik, pengekangan terhadap gerakan buruh bermaksud untuk mencegah kemunculan kembali anasir-anasir radikal atau kiri dalam gerakan buruh dan secara umum untuk membatasi ruang gerak tiap organisasi yang bersifat massal, termasuk organisasi gerakan buruh. Kedua, secara ekonomi, pembatasan gerakan buruh dimaksudkan untuk memuluskan jalannya tuntutan-tuntutan berbagai agenda ekonomi waktu itu dan ada sedikit relasi langsung dengan kebutuhan, seperti strategi Industri Substitusi Impor (ISI) atau keperluan untuk menarik modal asing (Jebatu, 2004).
Pada dekade 1990-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengalami keletihan, fatigue, restrukturisasi dan cengkeraman Orde Baru atas gerakan buruh mulai mengendur atau longgar, ditandai dengan munculnya fenomena dan eksperimen serikat-serikat buruh di luar serikat buruh “resmi” atau diakui oleh negara. Ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan hubungan-hubungan kelas: buruh – modal – negara.
Pada era ini sumber pemogokan buruh industrial bisa disebabkan menjadi dua faktor, yaitu faktor-faktor yang bersumber pada struktur dasar industrial Indonesia dan faktor konsentrasi-industrial. Namun, upaya untuk memahami resistensi dan konflik industrial belum cukup hanya mendasarkan pada penjelasan terhadap konflik kelas di antara kapital dan buruh, tapi perlu memeriksa perkembangan industrialisasi Indonesia dan lebih khusus mencermati kontradiksi inheren dalam transisi dari kebijakan melihat ke dalam yang tercermin dalam kebijakan Industri Substitusi Impor (ISI) menuju kebijakan memandang keluar Industri Berorientasi Ekspor (IBE), dan menuju kebijakan ekonomi pasar terbuka yang kompetitif.
Robison (1998) berpendapat bahwa jika peralihan dari ISI ke IBE tidak diikuti oleh perubahan-perubahan praktik-politik maka akan menimbulkan kontradiksi inheren dalam transisi itu sendiri. Dengan demikian, apabila hubungan-hubungan industrial tidak megalami perubahan, sementara pada level kebijakan telah terjadi pergeseran dari kebijakan ISI ke IBE maka kontradiksi itu akan melahirkan gelombang pemogokan buruh.
2.4 Perbedaan hubungan industrial dengan manajemen sumber daya manusia
2.4.1 Hubungan Industrial
Hubungan industrial pada awalnya dimulai dengan hubungan kerja. Hubungan dimulai ketika seseorang bersedia menerima kompensasi dengan imbalan kerja saya. e. kontrak kerja. Kontrak ini memiliki dimensi legal. Misalnya, manajemen harus membayar upah dan gaji, memberikan cuti, lingkungan kerja yang aman dan fasilitas lainnya yang ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu, keputusan yang diambil oleh manajer dan pengusaha mempengaruhi hubungan industrial. Dalam kasus ini, jika ada praktik diskriminasi, pelecehan, atau perselisihan yang tidak adil, karyawan dapat mengambil tindakan hukum terhadap pengusaha. Pentingnya hubungan industrial dapat didaftar sebagai berikut:
1. Memastikan kelancaran arus operasi bisnis dengan menjaga kepentingan karyawan dan pengusaha di organisasi.
2. Mengurangi perselisihan industrial, yang secara langsung akan berdampak pada produktivitas. Hubungan industrial meningkatkan moral karyawan karena mereka bekerja di lingkungan yang damai dan aman.
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berdasarkan kinerja    karyawan dan kepemimpinan yang baik dari pengusaha.
4. Menghambat praktik yang tidak adil karena kedua belah pihak (karyawan dan pengusaha) bekerja sesuai dengan peraturan dan prosedur yang berlaku.
2.4.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia terdiri dari kerangka kerja kegiatan dan praktik yang mendukung dan mengembangkan tenaga kerja yang termotivasi, sementara pada saat yang sama, mematuhi undang-undang dan peraturan yang mengatur hubungan pengusaha / karyawan. Manajemen sumber daya manusia yang efektif secara langsung berkontribusi terhadap efektivitas organisasi. Tujuan pengelolaan sumber daya manusia yang baik adalah, menciptakan kesempatan kerja sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Pentingnya manajemen sumber daya manusia adalah sebagai berikut :
1. Pertahankan perpaduan yang tepat antara karyawan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi.
2. Berikan perlakuan yang adil dan kondisi kerja yang menyenangkan bagi karyawan.
3. Ciptakan lingkungan kerja yang positif dan ramah.
4. Berikan struktur untuk membantu karyawan agar lebih efektif dalam pekerjaan mereka.
2.4.3 Perbedaan antara Hubungan Industrial dan Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya manusia berfokus pada cara mengelola sumber daya manusia secara efektif di dalam sebuah organisasi dan hubungan industrial adalah tentang membangun hubungan baik antara pengusaha dan karyawan.





















DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Model Bisnis di Internet (E-Business Model) dan E-Marketing

Kewirausahaan